Pw. S.
Agustinus, Usk.PujG (P)
1 Tes.
2:9-13
Mzm.
139:7-8,9-10,11-12ab
Mat.
23:27-32
1 Tes.
2:9-13
2:9 Sebab kamu masih ingat, saudara-saudara, akan usaha dan jerih
lelah kami. Sementara kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban
bagi siapa pun juga di antara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu.
2:10 Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan
tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu, yang percaya.
2:11 Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya,
telah menasihati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang,
2:12 dan meminta dengan sangat, supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak
Allah, yang memanggil kamu ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya.
2:13 Dan karena itulah kami tidak putus-putusnya mengucap syukur
juga kepada Allah, sebab kamu telah menerima firman Allah yang kami beritakan
itu, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi -- dan memang sungguh-sungguh
demikian -- sebagai firman Allah, yang bekerja juga di dalam kamu yang percaya.
Mat.
23:27-32
23:27 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,
hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur
putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah
dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.
23:28 Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar
di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.
23:29 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,
hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan
memperindah tugu orang-orang saleh
23:30 dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita,
tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu.
23:31 Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu
sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu.
23:32 Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu!
Agustinus
dan Satunya Perbuatan dan Perkataan
Saudara terkasih, hari ini kita bersama Bunda
Gereja merenungkan apa itu munafik dan perilaku munafik. Munafik itu mudahnya
adalah bedanya apa yang dikatakan dan dinyatakan dengan apa yang dilakukan.
Bung Karno memilih ungkapan, satunya kata dan perbuatan. Hari ke hari, kita
saksikan dengan mudah begitu banyak hal demikian di sekitar kita.
Menteri Keuangan Republik Indonesia menyatakan
keprihatinannya, ketika menyaksikan banyak pejabat itu orang-orang yang
religius, aktivitas beragamanya bagus, namun masih juga korupsi, dan tidak
merasa bersalah lagi. Ini jelas salah satu perilaku munafik. Lain lagi namun
sejenis, mengaku orang beragama, tekun dalam ibadat, namun sombong dan merasa
paling benar dan menang sendiri. Jangan menengok ke mana-mana, namun juga ke
dalam diri kita sendiri. Di dalam menggereja, di tengah keluarga, pun di
masyarakat, perilaku demikian mudah ditemui.
Labeling, memilih tampilan, namun soal isi dan
perilaku jauh dari itu semua, seolah menjadi gejala umum di segala bidang hidup
kita. Beragama, beribadah, dan liturgi pun kalau tidak hati-hati, kita hanya
berbakti pada diri kita sendiri, memuja diri, bukan Tuhan. Menghadirkan kemegahan
diri bukan kehadiran Tuhan yang kita lakukan.
Saudara terkasih, dalam bacaan Injil Tuhan mengecam
perilaku munafik, seperti kuburan yang dipelihara, dirawat, dan ditata dengan
indah, cantik, dan penuh perhatian. Toh isi di dalamnya tetap saja jenazah,
kotor tidak seindah luarnya. Demikian juga jika hati kita tidak mengarah kepada
Tuhan, namun beribadah dengan berlebihan, apa bedanya.
Ibadah, liturgi, ataupun doa, sejatinya ada
perubahan hidup yang signifikan. Mengarahkan hati semakin kepada Tuhan, tanpa
melupakan sesama. Rendah hati dan makin lemah lembut, ada yang menjadi lebih
baik dari hari ke hari. Jika tidak, perlu dilihat lagi, apakah sudah benar
hidup rohani kita. Hidup rohani yang baik dan benar akan membuat orang makin
dekat kepada Tuhan, bukan malah menjauh. Tidak ada sekaligus gelap dan terang,
terang akan mengusir gelap.
Berkaitan dengan Santo Agustinus, cerita yang
paling tenar mengenai dirinya adalah saat ia memikirkan Tuhan, bagaimana ia mau
memahami Tuhan, ia disentakan oleh anak kecil. Anak kecil yang bermain membuat
sumur di pantai, tepi laut. Agustinus bertanya untuk apa sumur itu? mau memindahkan
air laut ke sumurnya.
Agustinus sadar, sebagai ciptaan, ia tebatas,
otaknya juga memiliki cakupan yang tidak akan mampu menangkan kebesaran Tuhan
yang tak terbatas. Kerendahan hati, ada keterbukaan budi untuk belajar,
termasuk anak kecil. Jika ia sombong dan arogan, ia akan menertawakan si anak,
bukan malah membuka budinya sendiri yang sudah berlebihan.
Saudara terkasih keterbukaan budi membuat kita bisa
memperbaiki diri, namun jika menutup telinga dan nurani, perilaku munafik
sangat mungkin menjadi gaya hidup kita. BD.eLeSHa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar