Pw. B.
Dionisius dan B. Redemptus, BiarwMrt di Indonesia (M)
Why.
22:1-7
Mzm.
95:1-7
Luk.
21:34-36
Why.
22:1-7
22:1 Lalu ia
menunjukkan kepadaku sungai air kehidupan, yang jernih bagaikan kristal, dan
mengalir ke luar dari takhta Allah dan takhta Anak Domba itu.
22:2 Di
tengah-tengah jalan kota itu, yaitu di seberang-menyeberang sungai itu, ada
pohon-pohon kehidupan yang berbuah dua belas kali, tiap-tiap bulan sekali; dan
daun pohon-pohon itu dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa.
22:3 Maka tidak
akan ada lagi laknat. Takhta Allah dan takhta Anak Domba akan ada di dalamnya
dan hamba-hamba-Nya akan beribadah kepada-Nya,
22:4 dan mereka
akan melihat wajah-Nya, dan nama-Nya akan tertulis di dahi mereka.
22:5 Dan malam
tidak akan ada lagi di sana, dan mereka tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya
matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka, dan mereka akan memerintah
sebagai raja sampai selama-lamanya.
22:6 Lalu Ia
berkata kepadaku: "Perkataan-perkataan ini tepat dan benar, dan Tuhan,
Allah yang memberi roh kepada para nabi, telah mengutus malaikat-Nya untuk
menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya apa yang harus segera terjadi."
22:7
"Sesungguhnya Aku datang segera. Berbahagialah orang yang menuruti
perkataan-perkataan nubuat kitab ini!"
Luk.
21:34-36
21:34
"Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan
serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan
tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat.
21:35
Sebab ia akan menimpa semua penduduk bumi ini.
21:36
Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk
luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di
hadapan Anak Manusia.
Beato Dionisius dan Redemptus a Cruce, Martir di Indonesia
Pierre
Berthelot - demikian nama Santo Dionisius - lahir di kota Honfleur, Prancis
pada tanggal 12 Desember 1600. Ayahnya Berthelot dan Ibunya Fleurie Morin
adalah bangsawan Prancis yang harum namanya. Semua adiknya: Franscois, Jean,
Andre, Geoffin dan Louis menjadi pelaut seperti ayahnya. Sang ayah adalah
seorang dokter dan nakoda kapal. Pierre sendiri semenjak kecil (12 tahun) telah
mengikuti ayahnya mengarungi lautan luas; dan ketika berusia 19 tahun ia sudah
menjadi seorang pelaut ulung. Selain darah pelaut, ia juga mewarisi dari
ayahnya hidup keagamaan yang kuat, yang tercermin di dalam kerendahan hatinya,
kekuatan imannya, kemurnian dan kesediaan berkorban. Ia kemudian memasuki dinas
perusahaan dagang Prancis. Dalam rangka tugas dagang, ia berlayar sampai ke
Banten, Indonesia. Tetapi kapalnya dibakar oleh saudagar-saudagar Belanda dari
kongsi dagang VOC. Berkat pengalamannya mengarungi lautan, ia sangat pandai
menggambar peta laut dan memberikan petunjuk jalan.
Pierre
kemudian bekerja pada angkatan laut Portugis di Goa, India. Namun ia senantiasa
tidak puas dengan pekerjaannya itu. Ada keresahan yang senantiasa mengusik
hatinya. Ia selalu merenungkan dan mencari arti hidup yang lebih mendalam.
Ketika itu ia sudah berusia 35 tahun. Akan tetapi usia tidak menghalangi
dorongan hatinya untuk hidup membiara. Ia diterima di biara Karmel. Namanya
diubah menjadi Dionisius a Nativitate. Sekalipun ia sudah menjalani hidup
membiara, namun ia masih beberapa kali menyumbangkan keahliannya kepada
pemerintah, baik dengan menggambar peta maupun dengan mengangkat senjata
membuyarkan blokade di Goa yang dilancarkan oleh armada Belanda (1636).
Di
biara Karmel itulah, ia bertemu dengan Redemptus a Cruce, seorang bruder yang
bertugas sebagai penjaga pintu biara dan koster, penerima tamu dan pengajar
anak-anak. Redemptus lahir di Paredes, Portugal pada tahun 1598 dari sebuah
keluarga tani yang miskin namun saleh dan taat agama. Orangtuanya memberinya
nama Thomas Rodriguez da Cunha. Semenjak usia muda, ia masuk dinas ketentaraan Portugis
dan ditugaskan ke India. Ia kemudian menarik diri dari dinas ketentaraan karena
ingin menjadi biarawan untuk mengabdikan dirinya pada tugas-tugas keagamaan. Ia
diterima sebagai bruder di biara Karmel.
Suatu
ketika Raja Muda di Goa bermaksud mengirim utusan ke Aceh, Indonesia, yang baru
saja berganti sultan dari Sultan Iskandar Muda ke Sultan Iskandar Thani. Ia
ingin menjalin hubungan persahabatan karena hubungannya dengan sultan terdahulu
tidak begitu baik. Sebagai seorang bekas pelaut yang sudah pernah datang ke
Banten, Dionisius ditunjuk sebagai almosenir, juru bahasa dan pandu laut. Oleh
karena itu tahbisan imamatnya dipercepat. Dionisius ditahbiskan menjadi imam
pada tahun 1637 oleh Mgr. Alfonso Mendez. Bruder Redemptus dengan izinan
atasannya ikut serta dalam perjalanan dinas itu sebagai pembantu.
Pastor
tentara Dionisius bersama rombongannya berangkat ke Aceh pada tanggal 25
September 1638 dengan tiga buah kapal: satu kapal dagang dan dua kapal perang.
Penumpang kapal itu ialah: Don Fransisco de Sosa (seorang bangsawan Portugis),
Pater Dionisius, Bruder Redemptus, Don Ludovico dan Soza, dua orang Fransiskan
Rekolek, seorang pribumi dan 60 orang lainnya. Mereka berlabuh di Ole-Ole
(kini: Kotaraja) dan disambut dengan ramah.
Tetapi
keramahan orang Aceh ternyata hanya merupakan tipu muslihat saja. Orang-orang
Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa
bangsa Portugis datang hanya untuk meng-katolik-kan bangsa Aceh yang sudah
memeluk agama Islam. Mereka semua segera ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa
agar menyangkal imannya. Selama sebulan mereka meringkuk di dalam penjara dalam
keadaan yang sangat menyedihkan. Beberapa orang dari antara mereka meninggalkan
imannya. Dionisius dan Redemptus terus meneguhkan iman saudara-saudaranya dan
memberi mereka hiburan. Akhirnya di pesisir pantai tentara sultan mengumumkan
bahwa mereka dihukum bukan karena berkebangsaan Portugis melainkan beriman
KatoIik. Maklumat sultan ini diterjemahkan oleh Dionisius kepada
teman-temannya. Sebelum menyerahkan nyawa ke tangan para algojo, mereka semua
berdoa dan Pater Dionisius mengambil salib dan memperlihatkan kepada mereka
supaya jangan mundur, melainkan bersedia mengorbankan nyawa demi Kristus Yang
Tersalib dan yang telah menebus dosa dunia, dosa mereka. Dionisius memohon
ampun kepada Tuhan dan memberikan absolusi terakhir kepada mereka satu per
satu. Segera tentara menyeret Dionisius dan mulailah pembantaian massal.
Sepeninggal
teman-temannya, Pater Dionisius masih bersaksi tentang Kristus dengan penuh
semangat. Kotbahnya itu justru semakin menambah kebencian rakyat Aceh
terhadapnya. Algojo-algojo semakin beringas untuk segera menamatkan riwayat
Dionisius. Namun langkah mereka terhenti di hadapan Dionisius. Dengan sekuat
tenaga mereka menghunuskan kelewang dan tombak akan tetapi seolah-olah ada
kekuatan yang menahan, sehingga tidak ada yang berani. Segera kepala algojo
mengirim utusan kepada sultan agar menambah bala bantuan. Dionisus berdoa
kepada Tuhan agar niatnya menjadi martir dikabulkan. Dan permintaan itu
akhirnya dikabulkan Tuhan. Dionisius menyerahkan diri kepada algojo-algojo itu.
Seorang algojo - orang Kristen Malaka yang murtad - mengangkat gada dan
disambarkan keras-keras mengenai kepala Dionisius, disusul dengan kelewang yang
memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya.
Kemartiran
Dionisius dengan kawan-kawannya disahkan Tuhan: mayat mereka selama 7 bulan
tidak hancur, tetap segar seperti sedang tidur. Menurut saksi mata, jenazah
Dionisius sangat merepotkan orang sekitarnya, karena setiap kali dibuang - ke
laut dan tengah hutan - senantiasa kembali lagi ke tempat ia dibunuh. Akhirnya
jenazahnya dengan hormat dimakamkan di Pulau Dien ('pulau buangan'). Kemudian
dipindahkan ke Goa, India. Martir-martir itu dibunuh pada tanggal 29 Nopember
1638. Bersama Redemptus, Dionisius digelarkan 'beato' pada tahun 1900.Imankatolik.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar