Pw. S.
Pius dr Pietrelcina (Padre Pio), Im (P)
1 Tim.
6:2-12
Mzm.
144:1, 2abc,3-4
Luk.
8:4-15
1 Tim.
6:2-12
6:2b Ajarkanlah dan nasihatkanlah semuanya ini.
6:3 Jika seorang mengajarkan ajaran lain dan tidak menurut
perkataan sehat -- yakni perkataan Tuhan kita Yesus Kristus -- dan tidak
menurut ajaran yang sesuai dengan ibadah kita,
6:4 ia adalah seorang yang berlagak tahu padahal tidak tahu
apa-apa. Penyakitnya ialah mencari-cari soal dan bersilat kata, yang
menyebabkan dengki, cidera, fitnah, curiga,
6:5 percekcokan antara orang-orang yang tidak lagi berpikiran
sehat dan yang kehilangan kebenaran, yang mengira ibadah itu adalah suatu
sumber keuntungan.
6:6 Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi
keuntungan besar.
6:7 Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita
pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.
6:8 Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.
6:9 Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke
dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan,
yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.
6:10 Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh
memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya
dengan berbagai-bagai duka.
6:11 Tetapi engkau hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu,
kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan.
6:12 Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah
hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan
ikrar yang benar di depan banyak saksi.
Luk.
8:4-15
8:4 Ketika orang banyak berbondong-bondong datang, yaitu
orang-orang yang dari kota ke kota menggabungkan diri pada Yesus, berkatalah Ia
dalam suatu perumpamaan:
8:5 "Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya.
Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu diinjak
orang dan burung-burung di udara memakannya sampai habis.
8:6 Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, dan setelah tumbuh
ia menjadi kering karena tidak mendapat air.
8:7 Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, dan semak itu tumbuh
bersama-sama dan menghimpitnya sampai mati.
8:8 Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, dan setelah tumbuh
berbuah seratus kali lipat." Setelah berkata demikian Yesus berseru:
"Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!"
8:9 Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, apa maksud perumpamaan
itu.
8:10 Lalu Ia menjawab: "Kepadamu diberi karunia untuk
mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu
diberitakan dalam perumpamaan, supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat
dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti.
8:11 Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu ialah firman Allah.
8:12 Yang jatuh di pinggir jalan itu ialah orang yang telah
mendengarnya; kemudian datanglah Iblis lalu mengambil firman itu dari dalam
hati mereka, supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan.
8:13 Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu itu ialah orang, yang
setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu
tidak berakar, mereka percaya sebentar saja dan dalam masa pencobaan mereka
murtad.
8:14 Yang jatuh dalam semak duri ialah orang yang telah mendengar
firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimpit oleh kekuatiran
dan kekayaan dan kenikmatan hidup, sehingga mereka tidak menghasilkan buah yang
matang.
8:15 Yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah
mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah
dalam ketekunan."
Padre Pio
Francesco
Forgione dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1887 di sebuah kota kecil bernama
Pietrelcina, Italia selatan, dalam wilayah Keuskupan Agung Benevento. Ia adalah
anak kelima dari delapan putera-puteri keluarga petani Grazio Forgione dan
Maria Giuseppa De Nunzio (Mamma Peppa). Mamma Peppa mengenangnya sebagai anak
yang berbeda dari anak-anak lain sebayanya, “ia tidak pernah tidak sopan
ataupun bersikap tidak pantas.” Sejak usia lima tahun, Francesco dianugerahi
penglihatan-penglihatan surgawi dan juga mengalami penindasan-penindasan setan;
ia melihat dan berbicara dengan Yesus dan Santa Perawan Maria, juga dengan
malaikat pelindungnya; sayangnya, kehidupan surgawi ini disertai pula oleh
pengalaman tentang neraka dan setan. Ketika usianya duabelas tahun, Francesco
kecil menerima Sakramen Penguatan dan menyambut Komuni Kudus-nya yang Pertama.
Pada tanggal 6
Januari 1903, terdorong oleh semangat yang bernyala-nyala, Francesco yang kala
itu berusia enambelas tahun masuk novisiat Biarawan Kapusin di Morcone. Pada
tanggal 22 Januari, Francesco menerima jubah Fransiskan dan menerima nama
Broeder Pio. Di akhir tahun novisiat, Broeder Pio mengucapkan kaul sederhana,
yang dilanjutkan dengan kaul meriah pada tanggal 27 Januari 1907. Karena
kesehatannya yang buruk, setelah ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 10
Agustus 1910 di Katedral Benevento, Padre Pio harus tinggal kembali bersama
keluarganya. Para dokter yang mendiagnosanya memaklumkan bahwa ia mengidap
infeksi paru-paru dan bahwa masa hidupnya hanya tinggal sebulan saja.
Meski demikian,
setelah enam tahun bergulat dengan penyakitnya, kesehatan Padre Pio mulai
membaik. Pada bulan September 1916, Padre Pio diutus ke rumah Biara San
Giovanni Rotondo, di mana ia tinggal hingga akhir hayatnya. Bagi Padre Pio,
iman adalah hidup: ia menghendaki segala sesuatu dan mengerjakan segala sesuatu
dalam terang iman. Seringkali ia tampak tenggelam dalam doa-doa yang khusuk. Ia
melewatkan siang hari dan sebagian besar malam hari dalam percakapan mesra
dengan Tuhan. Padre Pio akan mengatakan, “Dalam kitab-kitab kita mencari Tuhan,
dalam doa kita menemukan-Nya. Doa adalah kunci yang membuka hati Tuhan.” Iman
membimbingnya senantiasa untuk menerima kehendak Allah yang misterius.
Pada tanggal 20
September 1918, sementara berdoa di depan sebuah Salib di kapel tua,
sekonyong-konyong suatu sosok seperti malaikat memberinya stigmata. Stigmata
itu terus terbuka dan mencucurkan darah selama limapuluh tahun. Dalam surat
tertanggal 22 Oktober 1918 kepada Padre Benedetto, pembimbing rohaninya, Padre
Pio mengisahkan pengalaman penyalibannya:
“… Apakah yang
dapat kukatakan kepadamu mengenai penyalibanku? Ya Tuhan! Betapa aku merasa
bingung dan malu apabila aku berusaha menunjukkan kepada orang lain apa yang
telah Engkau lakukan kepadaku, makhluk-Mu yang hina dina!
Kala itu pagi
hari tanggal 20 [September] dan aku sedang berada di tempat paduan suara
setelah perayaan Misa Kudus, ketika suatu istirahat, bagaikan suatu tidur yang
manis menghampiriku. Segenap indera, lahir maupun batin, pula indera jiwa ada
dalam ketenangan yang tak terlukiskan. Ada suatu keheningan mendalam di
sekelilingku dan di dalamku; suatu perasaan damai menguasaiku dan lalu,
semuanya terjadi dalam sekejab bahwa aku merasa bebas sepenuhnya dari segala
keterikatan. Ketika semuanya ini terjadi, aku melihat di hadapanku, suatu
penampakan yang misterius, serupa dengan yang aku lihat pada tanggal 5 Agustus,
yang berbeda hanyalah kedua tangan, kaki dan lambung-Nya mencucurkan darah.
Penglihatan akan Dia mengejutkanku: apa yang kurasakan pada saat itu sungguh
tak terkatakan. Aku pikir, aku akan mati; dan pastilah aku mati jika Tuhan
tidak campur tangan dan memperkuat hatiku, yang nyaris meloncat dari dadaku!
Penglihatan berakhir dan aku tersadar bahwa kedua tangan, kaki dan lambungku
ditembusi dan mencucurkan darah. Dapat kau bayangkan siksaan yang aku alami sejak
saat itu dan yang nyaris aku alami setiap hari. Luka di lambung tak
henti-hentinya mencucurkan darah, teristimewa dari Kamis sore hingga Sabtu. Ya
Tuhan, aku mati karena sakit, sengsara dan kebingungan yang aku rasakan dalam
kedalaman lubuk jiwaku. Aku takut aku akan mencucurkan darah hingga mati! Aku
berharap Tuhan mendengarkan keluh-kesahku dan menarik karunia ini daripadaku….”
Padre Pio adalah
imam pertama yang menerima stigmata Kristus. Para superiornya berusaha
merahasiakan kejadian itu, kendati demikian, berita segera menyebar dan ribuan
orang berduyun-duyun datang ke biara yang terpencil itu, baik mereka yang saleh
maupun mereka yang sekedar ingin tahu. Sesungguhnya, setiap pagi, sejak pukul
empat dini hari, selalu ada ratusan orang dan terkadang bahkan ribuan orang
menantinya.
Padre Pio tidur
tak lebih dari dua jam setiap harinya dan tak pernah mengambil cuti barang
sehari pun selama limapuluh tahun imamatnya! Ia biasa bangun pagi-pagi buta
guna mempersiapkan diri mempersembahkan Misa Kudus. Setelah Misa, Padre Pio
biasa melewatkan sebagian besar harinya dalam doa dan melayani Sakramen
Pengakuan Dosa. Hidupnya penuh dengan berbagai karunia mistik, termasuk
kemampuan membaca batin para peniten, bilokasi, levitasi dan jamahan yang
menyembuhkan. Darah yang mengucur dari stigmatanya mengeluarkan bau harum
mewangi atau harum bunga-bungaan.
Padre Pio
memiliki dua prakarsa dalam dua arah: arah vertikal kepada Tuhan, dengan
membentuk “Kelompok Doa” pada tahun 1920 yang masih aktif hingga kini dengan
400.000 pendoa yang tersebar di seluruh dunia. Arah horizontal kepada komunitas
yang menderita, dengan mendirikan sebuah rumah sakit modern “Casa Sollievo
della Sofferenza” (Rumah untuk Meringankan Penderitaan) yang dibuka pada
tanggal 5 Mei 1956, dan hingga kini melayani sekitar 60.000 pasien setiap
tahunnya.
Selama lima
puluh tahun imamatnya, Padre Pio menjalin persatuan yang akrab mesra dengan
Tuhan melalui Ekaristi Kudus. Yang paling luar biasa dalam hidupnya bukanlah
mukjizat, penyembuhan ataupun pertobatan orang dengan perantaraannya, melainkan
pelayanannya di altar, mempersembahkan Kurban Kudus Misa, dimana ia menjadi
satu dengan Kristus yang tersalib.
“… kalian akan
datang kepada Tuhan dan menempatkan diri di hadirat-Nya karena dua alasan
utama. Pertama, kita menyampaikan kepada Tuhan penghormatan dan ketaatan yang
memang sudah sepatutnya. Hal itu dapat dilakukan tanpa Ia berbicara kepada
kita, dan tanpa kita berbicara kepada-Nya, sebab kewajiban ini dapat ditunaikan
dengan mengakui Dia sebagai Tuhan kita, dan mengenali diri sebagai makhluk
ciptaannya yang hina dina, yang secara rohani rebah di hadapan-Nya, menanti
perintah-perintah-Nya. Betapa banyak para kudus yang kerapkali menempatkan diri
di hadapan Raja kita, tanpa berbicara kepada-Nya ataupun mendengarkan-Nya,
melainkan hanya sekedar dilihat oleh-Nya, agar dengan ketekunan mereka ini
mereka boleh dianggap sebagai hamba-hamba-Nya yang setia? Perilaku ini,
menghaturkan diri di hadapan Tuhan semata-mata guna memberikan diri secara
sukarela sebagai hamba-hamba-Nya adalah yang paling kudus, paling unggul,
paling murni dan juga paling sempurna.
Alasan kedua
menghaturkan diri di hadirat Allah sementara berdoa adalah untuk berbicara
kepada-Nya dan mendengarkan suara-Nya lewat inspirasi dan pencerahan batin….
apabila kalian berdoa di hadirat Tuhan, hadapilah kebenaran, berbicaralah
kepada-Nya jika kalian dapat, dan jika kalian tak dapat mengatakannya, berdiam
diri sajalah, biarlah dirimu dilihat oleh-Nya, dan janganlah khawatir lagi
mengenainya….”
Padre Pio dengan
tulus menganggap diri sebagai tidak berguna, tidak layak menerima
anugerah-anugerah Tuhan, penuh kelemahan dan cacat cela, walau demikian
diberkati dengan karunia-karunia ilahi. Di tengah kekaguman orang terhadap
dirinya, Padre Pio akan mengatakan, “Aku hanya ingin menjadi seorang biarawan
miskin yang berdoa.”
Sejak masa muda,
kesehatan Padre Pio amat rapuh, dan semakin memburuk keadaannya pada
tahun-tahun terakhir masa hidupnya. Pada tanggal 23 September 1968, pukul 2.30
dini hari, dalam usia delapanpuluh satu tahun, Saudari Maut menjemputnya dalam
keadaan siap lahir batin dan damai tenang. Segera setelah ia wafat, kamarnya
dipenuhi bau harum semerbak selama beberapa saat lamanya, seperti bau harum
yang memancar dari luka-lukanya selama limapuluh tahun penderitaannya; stigmata
tak lagi tampak, tak terlihat sama sekali adanya darah ataupun tanda-tanda
bekas luka.
Pada tanggal 20
Februari 1971, belum genap tiga tahun setelah wafat Padre Pio, Paus Paulus VI
berbicara mengenainya kepada para Superior Ordo Kapusin, “Lihat, betapa
masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul sekelilingnya! Tetapi mengapa?
Apakah mungkin karena ia seorang filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap dalam
pelayanan? Karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan
pengakuan dosa dari fajar hingga gelap dan - tak mudah mengatakannya - ia
adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan kita. Ia adalah manusia yang berdoa
dan yang menderita.”
Padre Pio
dinyatakan sebagai Venerabilis pada tanggal 18 September 1997 oleh Paus Yohanes
Paulus II; pada tanggal 2 Mei 1999 dibeatifikasi; dan akhirnya dikanonisasi
pada tanggal 16 Juni 2002 di Roma, oleh Paus yang sama. http://www.yesaya.indocell.net