Rabu, 18 September 2019

Waton Sulaya, Integritas, dan Hikmat


Rabu Pekan Biasa XXIV (H)
1 Tim. 3:14-16
Mzm. 11:1-2,3-4,5-6
Luk. 7:31-35




1 Tim. 3:14-16

3:14 Semuanya itu kutuliskan kepadamu, walaupun kuharap segera dapat mengunjungi engkau.
3:15 Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.
3:16 Dan sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: "Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan."


Luk. 7:31-35

7:31 Kata Yesus: "Dengan apakah akan Kuumpamakan orang-orang dari angkatan ini dan dengan apakah mereka itu sama?
7:32 Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan yang saling menyerukan: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis.
7:33 Karena Yohanes Pembaptis datang, ia tidak makan roti dan tidak minum anggur, dan kamu berkata: Ia kerasukan setan.
7:34 Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan kamu berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.
7:35 Tetapi hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya.



Waton Sulaya, Integritas, dan Hikmat

Saudara terkasih, hari ini kita bersama Bunda Gereja merenungkan bagaimana hidup harian kita yang berkenan kepada Allah. dalam sabda-Nya Yesus mengisahkan orang-orang yang melihat pewartaan-Nya dengan sinis, bahkan  menolaknya. Tawaran belas kasih dan keselamatan yang disia-siakan.
Konteks yang sama, ternyata hari-hari ini juga kita alami sebagai anak bangsa. Kita saksikan bagaimana orang bisa asal berbeda atau waton sulaya dalam menilai, memberikan sikap, dan menafikan jasa serta prestasi orang lain. Namun dalam konteks yang berbeda pujian setinggi langit pada kebobrokan yang dikemas dalam narasi indah, karena seide, segolongan, dan searah dalam tujuan atau keinginan. Ini sebuah penyakit akut, dan ternyata dalam masa Yesus itu pun sudah terjadi, dan identik banget.
Integritas. Persoalan mendasar, ketika orang bisa seenaknya memutarbalikan fakta, narasi menafikan prestasi dan menaikan kejahatan sebagai seolah-olah adalah kerja baik, identik dengan apa yang dinyatakan dalam bacaan Injil. Yesus dicap sebagai apa yang buruk dalam benak mereka. Mau berbuat apapun tetap saja salah. Karena integritas yang memberikan cap dan penilaian hanya berkutat pada pokoke,  di mana apapun yang dilakukan Yesus adalah buruk dan jelek.
Saudara terkasih, dalam akhir bacaan bagus menjadi pedoman kita, bagaimana kita patut memegang hikmat yang dari Tuhan Allah. Hikmat untuk tetap setia berbuat kasih, berbuat baik, dan selalu mengedepankan cinta kasih, kelemahlembutan, dan perdamaian. Apapun yang lingkungan dan dunia perbuat bukan menjadi pertimbangan untuk menghentikan perbuatan baik kita.
Sikap positif juga memegang peran penting dan mendasar. Bagaimana kita juga akan mampu melihat secara positif apapun yang dilakukan pihak lain. Jika sudah mampu berbuat demikian, tentu kita juga akan mampu melakukan kebaikan, kebenaran, dan keadilan dengan ringan. Respons, tanggapan, dan penerimaan pihak lain bukan menjadi pertimbangan di dalam bertindak. Keberanian tetap setia melakukan kebenaran dan keadilan dan membelanya adalah karena kasih karunia, hikmat, dan anugerah Tuhan Allah yang tiada batasnya.
Tugas ini layak kita upayakan, usahakan, dan terus menerus untuk memperjuangkannya menjadi sebuah gaya hidup. Bersama Tuhan semua pasti bisa. BD.eLeSHa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar