P.w. S.
Yohanes Maria Vianney, Im (P)
Im.
23:1,4-11,15-16,27,34-37
Mzm. 81:3-4,5-6ab,10-11ab
Mat.
13:54-58
Im.
23:1,4-11,15-16,27,34-37
23:1 TUHAN berfirman kepada Musa:
23:4 Inilah hari-hari raya yang ditetapkan
TUHAN, hari-hari pertemuan kudus, yang harus kamu maklumkan masing-masing pada
waktunya yang tetap.
23:5 Dalam bulan yang pertama, pada tanggal
empat belas bulan itu, pada waktu senja, ada Paskah bagi TUHAN.
23:6 Dan pada hari yang kelima belas bulan itu
ada hari raya Roti Tidak Beragi bagi TUHAN; tujuh hari lamanya kamu harus makan
roti yang tidak beragi.
23:7 Pada hari yang pertama kamu harus
mengadakan pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat.
23:8 Kamu harus mempersembahkan korban
api-apian kepada TUHAN tujuh hari lamanya; pada hari yang ketujuh haruslah ada
pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat."
23:9 TUHAN berfirman kepada Musa:
23:10 "Berbicaralah kepada orang Israel
dan katakan kepada mereka: Apabila kamu sampai ke negeri yang akan Kuberikan
kepadamu, dan kamu menuai hasilnya, maka kamu harus membawa seberkas hasil
pertama dari penuaianmu kepada imam,
23:11 dan imam itu haruslah mengunjukkan
berkas itu di hadapan TUHAN, supaya TUHAN berkenan akan kamu. Imam harus mengunjukkannya
pada hari sesudah sabat itu.
23:15 Kemudian kamu harus menghitung, mulai
dari hari sesudah sabat itu, yaitu waktu kamu membawa berkas persembahan unjukan,
harus ada genap tujuh minggu;
23:16 sampai pada hari sesudah sabat yang
ketujuh kamu harus hitung lima puluh hari; lalu kamu harus mempersembahkan
korban sajian yang baru kepada TUHAN.
23:27 "Akan tetapi pada tanggal sepuluh
bulan yang ketujuh itu ada hari Pendamaian; kamu harus mengadakan pertemuan
kudus dan harus merendahkan diri dengan berpuasa dan mempersembahkan korban
api-apian kepada TUHAN.
23:34 "Katakanlah kepada orang Israel,
begini: Pada hari yang kelima belas bulan yang ketujuh itu ada hari raya Pondok
Daun bagi TUHAN tujuh hari lamanya.
23:35 Pada hari yang pertama haruslah ada
pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat.
23:36 Tujuh hari lamanya kamu harus
mempersembahkan korban api-apian kepada TUHAN, dan pada hari yang kedelapan
kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan mempersembahkan korban api-apian
kepada TUHAN. Itulah hari raya perkumpulan, janganlah kamu melakukan sesuatu
pekerjaan berat.
23:37 Itulah hari-hari raya yang ditetapkan
TUHAN, yang harus kamu maklumkan sebagai hari pertemuan kudus untuk mempersembahkan
korban api-apian kepada TUHAN, yaitu korban bakaran dan korban sajian, korban
sembelihan dan korban-korban curahan, setiap hari sebanyak yang ditetapkan
untuk hari itu,
Mat.
13:54-58
13:54
Setibanya di tempat asal-Nya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah
ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: "Dari mana diperoleh-Nya
hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu?
13:55
Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan
saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?
13:56 Dan
bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari
mana diperoleh-Nya semuanya itu?"
13:57 Lalu
mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: "Seorang
nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di
rumahnya."
13:58 Dan
karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mujizat diadakan-Nya di situ.
Johanes Maria
Vianney
JEAN Baptist Marie Vianney, yang kemudian menjadi sangat dikenal
dengan sebutan ‘Sang Pastor dari Ars’, lahir di Dardilly, tak jauh dari
Lyon, di Perancis Selatan, pada tanggal 8 Mei 1786. Ia lahir sebagai anak
keempat dari pasangan Mathieu Vianney dan Marie Beluse, sebuah keluarga
pedesaan yang bersahaja. Keluarga ini memiliki beberapa bidang tanah yang
menyatu dengan tempat tinggal mereka yang sederhana.
Jean (dalam bahasa Indonesia: Yohanes) kecil sangat
terinspirasi oleh kepedulian kedua orangtuanya kepada para miskin papa,
sekalipun secara materi mereka sendiri bukan keluarga kaya. Rumah mereka selalu
terbuka untuk orang miskin yang membutuhkan makanan dan pertolongan
lainnya. Ketika Jean masih bayi, kata pertama yang keluar dari bibirnya
adalah “Yesus” dan “Maria”. Gerakan tangan pertamanya adalah gerakan membuat
tanda salib, yang diajarkan sang ibu kepadanya. Sejak usia 4-5 tahun, ia sudah
mempunyai kesukaan untuk menyendiri, yang menurut sebuah sumber, dilakukannya
untuk berbicang-bincang dengan malaikat pelindungnya. Sebagai remaja, Jean
membantu orangtuanya bertani dan memelihara ternak. Jean remaja juga
gemar melayani dengan penuh simpati orang-orang miskin yang berdatangan ke
rumah orangtuanya. Ia pergi menjumpai orang-orang sederhana di jalan dan
membawa pulang baju mereka yang sobek, agar dapat dijahit dan diperbaiki oleh
ibunya di rumah.
Ketika Revolusi
Perancis merebak, gereja-gereja ditutup dan banyak pastor yang diusir. Saat
itu, Jean remaja yang telah semakin dewasa dan sudah semakin matang dalam iman
dan cintanya kepada Kristus, merasa prihatin atas keadaan itu dan berinisiatif
mengumpulkan anak-anak di desanya. Ia mengajar mereka tentang Kitab Suci dengan
cara yang sederhana namun serius. Kesehariannya dipenuhi kegiatan bekerja
dengan tekun dan rajin serta banyak berdoa, sehingga pekerjaannya sendiri
adalah sebenarnya suatu doa yang terus menerus. Sengsara Kristus dan
mukjizat-mukjizat-Nya adalah sumber meditasi jiwa yang tak pernah kering
baginya. Di akhir hari, bersama ibu dan kakaknya, Catherine, ia merenungkan
Kitab Suci dan kisah para Kudus.
Perlahan namun
pasti, tumbuh kerinduan di hati Jean untuk menjadi seorang pastor. Namun sampai
usia tujuh belas tahun ia belum berkesempatan memulai studi untuk menjadi imam.
Apalagi ayahnya menyatakan bahwa ia tak mempunyai cukup uang untuk membiayai
pendidikan Jean.
Syukurlah pada tahun
1805, muncul harapan baru bagi Jean. Gereja-gereja mulai dibuka kembali,
sebagai hasil keputusan pemerintah pada saat itu. Pastor Bailey, seorang
misionaris gigih pada masa itu, ditunjuk menjadi pastor paroki di Ecully,
sebuah desa tetangga Dardilly. Pekerjaan awal pastor Bailey di antaranya adalah
membuka sebuah seminari untuk mendidik orang-orang muda calon imam. Berbekal
restu sang ayah, Jean, yang saat itu sudah berusia 19 tahun, menghadap pastor
Bailey, yang sudah lama mendengar tentang kesalehan Jean remaja. Ia segera
menerima Jean menjadi salah satu murid di seminarinya.
Di seminari, Jean
belajar bersama para pemuda lain yang jauh lebih muda darinya. Kebanyakan
pemuda seusianya telah menyelesaikan taraf pendidikan yang sedang dimulainya
itu. Jean menempuh studinya dengan segenap kesukaran, ia lambat belajar dan apa
yang dipelajarinya hanya bertahan sebentar dalam pemahamannya. Keadaan merasa
tertinggal dengan remaja sebayanya memperberat kesulitannya. Pelajaran bahasa
Latin adalah pelajaran yang paling sukar baginya.
Dalam kesulitannya,
Jean mencari pertolongan doa Bunda Maria Perawan Terberkati dan Santo Francis
Regis dari Vivarais, sosok orang kudus yang menjadi devosi Jean sejak masa
kanak-kanak. Ia berziarah ke makam St. Francis di Louvesc untuk memohon
pertolongan doanya. Imannya membuahkan hasil yang nyata di mana pelan-pelan ia
bisa mengatasi kesukarannya dalam belajar. Kelak ketika Jean telah menjadi imam
di Ars, ia sering mengingat dengan penuh syukur pertolongan St. Francis itu. Ia
membawa arca St. Francis ke parokinya dan menganjurkan devosi kepadanya.
Ketika perjalanan
studinya mulai lancar, muncul tantangan baru. Raja Napoleon I membutuhkan
pasukan tambahan untuk menguasai Spanyol. Wajib militer segera diberlakukan
bagi semua pemuda, termasuk Jean. Kesedihan mendalam karena harus meninggalkan
bangku sekolah seminari membuat Jean jatuh sakit. Ia harus dirawat di rumah
sakit di Lyons, dan kemudian dipindahkan ke Roanne. Sementara itu pasukan
tentara yang baru sudah mulai berangkat menuju Pyrenees. Keadaan itu membuat
Jean akhirnya dapat kembali ke desanya tanpa pernah sempat menjalani wajib
militernya.
Pada tahun 1812,
setelah peninjauan seksama terhadap hasil belajarnya, Jean diijinkan mengikuti
studi filosofi di Verrieres. Ia yang telah berumur 27 tahun saat itu, belajar
bersama dua ratus pelajar lainnya, yang semuanya lebih muda darinya. Kesukaran
lain menantinya. Setelah beberapa minggu, Jean didiskualifikasi untuk mengikuti
studi filosofi dalam bahasa Latin, dan bersama enam pelajar lain ia harus
mengikuti pelajaran itu dalam bahasanya sendiri yaitu bahasa Perancis.
Karena
keadaannya itu, Jean sering diolok-olok oleh sesama pelajar, namun ia tak
pernah sekalipun terpancing untuk marah. Segala hinaan itu justru memperkuat
hidup doa dan devosinya. Tapi masih ada cobaan lain lagi menantinya.
Sebelum diijinkan masuk seminari tinggi di Lyons untuk mempersiapkan tahbisan
imamatnya, ia harus menjalani ujian mata pelajaran filosofi di hadapan uskup
agung dan stafnya. Ketika pertanyaan diajukan padanya dalam bahasa Latin,
tiba-tiba seluruh ingatannya terhadap apa yang sudah dipelajarinya lenyap.
Dalam keadaan seperti itu tak satu pertanyaanpun yang dapat dijawabnya, karena
merasa sangat grogi di hadapan para figur penting di hadapannya. Di
antara semua kandidat, Jean satu-satunya peserta studi yang dinyatakan gagal
untuk melanjutkan ke jenjang seminari tinggi. Tak terbayangkan betapa berat
pukulan ini bagi Jean. Seluruh kerja keras dan upayanya selama delapan tahun
ternyata membuahkan kegagalan.
Dalam situasi yang
sungguh sulit itu, iman Jean Vianney kepada Tuhan tetap tak tergoyahkan, dan
oleh karenanya Tuhan membuka jalan baginya melalui pastor yang telah
menerimanya dulu, Pastor Bailey. Berbekal pengetahuannya yang sangat baik
terhadap kualitas karakter Jean, Romo Bailey memohon otoritas seminari untuk
menguji Jean Vianney secara prbadi keesokan harinya. Ujian kali ini
dilangsungkan di hadapan vikaris jendral dari keuskupan agung dan para wakil
dari seminari teologis. Ternyata Jean berhasil lulus dengan amat memuaskan
sehingga ia diperkenankan memasuki seminari tinggi untuk studi teologi di tahun
1814.
Kehidupan Jean di
seminari lebih mendalam pada aspek kesalehannya daripada aspek akademis.
Bagaimanapun, melihat kesungguhan dan kemuliaan hatinya, pemimpin seminari
memberinya rekan sekamar yang pandai dan rela membantunya belajar. Dengan
berbagai bantuan itu, akhirnya Jean berhasil sampai di akhir masa studinya dan
bersiap menerima tahbisan imamat. Tahun 1814 itu terjadi kebutuhan yang besar
dan mendesak akan para imam. Atas dasar itu, Jean dan kawan-kawan
direncanakan menerima tahbisan prodiakon menjelang Juli. Namun para pemimpin
seminari merasa ragu. Bagaimana seorang dengan kualifikasi yang sangat tidak
memadai bisa diijinkan menerima tahbisan? Akhirnya vikaris jendral bertanya
kepada otoritas seminari, “Apakah Vianney muda seorang yang saleh? Apakah ia
berdevosi kepada Bunda Maria Yang Terberkati?” Untuk hal-hal tersebut, para
otoritas merasa sepenuhnya yakin kepada Jean Vianney. “Kalau begitu”, kata
vikaris jendral itu, “saya menerima dia. Biarlah rahmat Allah yang akan menyempurnakan
segalanya”. Pada tanggal 2 Juli 1814, Vianney menerima tahbisan prodiakon dan
sekitar dua belas bulan kemudian tahbisan diakon. Bulan Agustus 1815, Jean
Vianney ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Grenoble, yang mewakili uskup agung
Lyons yang saat itu sedang berada di Roma. Pastor Jean Vianney berusia 29 tahun
saat itu. Dan Tuhan mempunyai rencana yang agung atas hidupnya, yang kelak akan
menjadi teladan bagi hidup panggilan para imam di seluruh dunia.
Pastor Vianney dalam
kerendahan hatinya, selalu menyadari ketidaksempurnaannya. Ia pernah menyatakan
dua prinsip yang sebaiknya menjadi panduan seorang imam: (1) jangan
pernah beranggapan bahwa tidak ada hasil berarti yang telah dicapai di paroki,
betapapun nampaknya segala upaya yang telah dijalankan bertahun-tahun belum
menunjukkan hasil yang diharapkan, dan (2) para imam jangan pernah beranggapan
bahwa mereka telah melakukan usaha yang cukup, betapapun berartinya hasil yang
telah berhasil mereka capai.
Untuk menyempurnakan
pelayanannya, Pastor Vianney melanjutkan mempelajari moral teologi dari Pastor
Bailey yang saleh dan berpengalaman. Pastor Bailey lalu menunjuknya menjadi
pastor paroki. Pastor Jean mempraktekkan hidup pastoralnya dengan penuh
kesalehan dan mati raga. Bersama Pastor Bailey, ia berdoa brevir berdua dan
sepanjang hari berada dalam persekutuan penuh cinta kepada Tuhan. Berjam-jam
mereka berdoa adorasi di depan Tabernakel. Sehari-hari, Romo Vianney hanya
makan sedikit sekali, dan semua penghasilannya yang amat minim diberikannya seluruhnya
untuk orang miskin. Baju-baju yang diberikan khusus untuknya, juga diberikannya
kepada orang miskin. Praktis ia tidak memiliki apapun kecuali pakaian yang
menempel di badannya. Berdua mereka mengunjungi umat yang miskin tiap-tiap
harinya, menghibur dan menolong mereka sejauh yang mereka bisa. Dalam waktu tak
lama, Pastor Bailey segera menyadari bahwa ia telah bekerja bersama seorang
santo.
Pada bulan Desember
1817, Pastor Bailey wafat. Umat mengharapkan Pastor Vianney menggantikannya,
tetapi ternyata Tuhan mempunyai rencana lain. Sebelum penetapan terjadi, pastor
paroki yang baru saja ditempatkan di Ars juga wafat. Vikaris jendral lantas
mengirimkan Pastor Vianney ke paroki kecil itu sambil berpesan, “Sahabatku,
engkau akan bertugas di sebuah paroki kecil di mana sangat sedikit kasih Tuhan
bisa dirasakan di sana. Engkau akan membangkitkan lagi api kasih Allah di
sana!”
Dengan berkata
sedemikian, Sang Vikjen sama sekali tidak menyangka bahwa dalam beberapa
dekade, desa kecil Ars akan berkembang begitu rupa bagaikan sebuah jantung yang
berdenyut penuh cinta kasih Allah, menyebarkan kehangatannya ke seluruh negeri.
Pastor yang baik
Ketika Pastor Jean
Baptist Vianney memasuki paroki Ars untuk pertama kalinya di Februari petang
yang dingin di tahun 1818, ia juga segera merasakan dinginnya semangat
spiritual umat Kristiani di sana. Tak seorangpun menyambut kedatangannya. Misa
harian hanya dihadiri dua atau tiga wanita tua. Kaum pria tidak hadir dalam
Misa hari Minggu, apalagi doa harian (Vespers), walau pada saat yang sama,
cafe-cafe di desa itu selalu penuh pengunjung.
Pastor Jean
melakukan semua upaya yang ia bisa untuk membangkitkan nyala api iman yang
redup dan nyaris mati di Ars. Karena umat tidak datang kepadanya, dialah yang
berinisiatif datang berkunjung ke rumah mereka. Ia tidak puas hanya dengan satu
kali kunjungan formal, namun ia mengunjungi umatnya secara berkala, sesuai
dengan berbagai kebutuhan spiritual yang ia lihat pada diri mereka. Ia biasa
berkunjung saat sebuah keluarga tengah makan siang bersama. Ia akan masuk ke
ruang keluarga sambil mengobrol dengan sikap ramah dan bersahabat. Sekalipun
selalu diundang untuk ikut menikmati hidangan, Pastor Jean tidak pernah
menikmati sedikitpun makanan, bahkan juga tidak segelas air. Ia berbicara tentang
keseharian mereka, kepedulian, dan kekhawatiran mereka, harapan dan kekecewaan
mereka.
Umat segera
menyadari bahwa Pastor Jean adalah bagian dari diri mereka, mereka lantas mulai
menceritakan uneg-uneg dan rahasia hati mereka kepadanya, meminta nasehatnya
untuk masalah-masalah mereka. Dan kapanpun kesempatan itu datang, dengan
ketrampilan alamiah untuk memberi masukan, Romo Vianney mengarahkan percakapan
kepada tema-tema penyelenggaraan ilahi. Namun ia selalu menyampaikan semua itu
dengan sikap menyenangkan, tidak pernah memaksa, selalu sabar, dan tidak
menghakimi, walaupun mungkin ia tahu dan bisa menilai kekeliruan yang telah
dilakukan umatnya. Semua sikap itu adalah cermin dari keluhuran hatinya, yang
segera memenangkan hati banyak orang, yang kini berbalik menanti-natikan
kunjungannya, dan merasa terhormat bila ia datang bertamu.
Kita tentu masih
ingat kelemahan Pastor Vianney berhubungan dengan memorinya, yang telah sempat
mempersulit perjalanan studinya hingga nyaris membuahkan kegagalan. Kelemahan ini
juga mempersulitnya saat ia sedang menyiapkan kotbah. Banyak malam ia tidak
tidur dengan cukup, demi mempersiapkan homili yang baik bagi umatnya. Namun,
berkat pertolongan Yang Ilahi, kelemahan itu tidak menjadi penghalang baginya.
Sehingga walau ia tidak dikaruniai bakat alam untuk berpidato di depan banyak
orang, ia bisa berbicara dengan lancar, serius dan meyakinkan. Bertahun-tahun
sesudah Ars menjadi pusat peziarahan umat dari seluruh Perancis, kadang
mencapai 20.000 orang per tahunnya, Pastor Jean senantiasa mampu memberikan
kotbah harian dari altar tanpa suatu persiapan khusus dan tanpa menimbulkan
peristiwa yang memalukan sebagaimana yang ia alami di awal karirnya sebagai
imam.
Dengan bantuan umat
parokinya, yang hari demi hari semakin terkesan dengan kesalehan yang teguh
dari pastor mereka, Jean berhasil membangun dua kapel baru yang melengkapi
bangunan gereja utama. Salah satu kapel itu didedikasikan kepada St. Filomena,
seorang remaja putri yang menjadi martir, yang relikwinya disimpan di Roma di
awal abad kesembilan belas. Kapel lainnya dipersembahkan kepada St. Yohanes
Pembaptis, dan di dalamnya terletak ruang pengakuan dosa yang digawangi Pastor
Jean, yang dikenal dengan sebutan “Bangku Belas Kasihan”, dari Yang
Kuasa, di mana ribuan jiwa mengalami rekonsiliasi kembali dengan Sang
Penciptanya, karena pelayanan dan nasehat yang penuh kuasa dan cinta ilahi dari
Pastor Jean Vianney.
Ketika seorang rekan
imam berkeluh kesah padanya sambil mengatakan bahwa ia tidak merasa berhasil
dalam pelayanan di parokinya, walau ia merasa telah melakukan segala cara untuk
membangkitkan umat di parokinya, Romo Vianney bertanya padanya, “Sungguhkah
engkau sudah melakukan segala yang mungkin dengan seluruh kekuatanmu?
Apakah engkau berpuasa dan beramal? Apakah engkau berdoa?”
Kemurahan hati
Pastor Vianney nyaris tak terbatas. Makanan, pakaian, dan pasokan kebutuhan
sehari-hari lainnya yang diberikan dengan murah hati oleh bangsawan Ars
untuknya, segera berpindah tangan ke orang-orang miskin. Ia hanya menyimpan
sangat sedikit untuk dirinya, sekedar cukup supaya ia tidak kelaparan. Bahkan
yang sudah sedikit itu pun sering ia berikan juga, jika ada orang miskin yang
datang untuk meminta makanan. Suatu hari Mr. Mandy, tokoh masyarakat Ars,
menemukan Pastor Jean dalam keadaan pucat pasi dan sangat kelelahan. Dengan
penuh kecemasan ia bertanya, Apakah Anda sakit, Pater?”. Ia menyahut, “Oh
temanku yang baik, engkau datang pada waktunya, aku tak punya apapun lagi untuk
dimakan.” Selama tiga hari Romo Vianney tak mempunyai persediaan apapun sejak
kentang terakhir yang ada padanya diberikannya kepada orang lapar. Sehari-hari
ia hanya makan sekali sehari, dan umumnya hanya terdiri atas kentang rebus,
yang dibuatnya cukup hingga akhir minggu, hingga menjelang Jumat atau Sabtu sudah
mulai berjamur. Namun ketika sanak saudara atau kerabatnya datang, ia rela
bersusah payah menyediakan hidangan sederhana untuk mereka. Pastor Jean selalu
berusaha agar hidup mati raga dan penyangkalan dirinya itu tidak diketahui oleh
publik.
Suatu hari seorang
pengemis dijumpainya di jalan, pengemis itu tak beralas kaki sehingga kakinya
luka-luka. Pastor Jean segera menyerahkan sepatu dan kaus kakinya sendiri
kepada pengemis itu, kemudian ia pulang ke rumah dengan kaki telanjang.
Ia mempersembahkan
mati raganya untuk kesejahteraan umatnya, dan meningkatkan kebiasaannya itu
menjelang Paskah, dan kapanpun itu jika dapat menyentuh hati para pendosa yang
keras. Ia biasa bangun jam dua pagi untuk berdoa Brevier. Pukul empat pagi ia
masuk ke gereja untuk beradorasi di hadapan Tabernakel dan kemudian memimpin
Misa pagi. Setelah itu, ia memberi pengarahan pada kelas katekis dan
mendengarkan pengakuan dosa umatnya. Begitulah rutinitas yang dijalaninya
dengan setia tiap hari sehingga ia selalu ada di gereja sampai tengah hari.
Selanjutnya sepanjang sore ia mengunjungi orang yang sakit dan menghabiskan
sisa waktunya di gereja, di mana ia, melengkapi pelayanan pengajaran imannya
kepada umat, memimpin penyembahan sore bersama umat.
Perkembangan
spiritual yang pesat yang terjadi pada paroki di Ars lama kelamaan didengar
oleh seluruh negeri. Imam-imam dari paroki lain memohon bantuannya memberi
kotbah dan memberikan Sakramen Pengakuan Dosa. Pastor Vianney tidak pernah
menolak permohonan bantuan ini, sehingga dalam dua tahun, ia menjadi rasul
Kristus yang sangat dikenal di lingkungan katedral. Begitu suksesnya pekerjaan
spiritualnya sehingga orang tidak lagi menunggu dia datang lagi mengunjungi
paroki mereka, tetapi mereka sendiri yang datang langsung ke Ars. Segera
jalan-jalan desa Ars dipenuhi para pejalan kaki dan kendaraan yang membawa
sejumlah besar pengunjung, dan peziarahan itu terus meningkat seiring mulai
tersiarnya berbagai kabar mengenai mukjizat-mukjizat yang terjadi di Ars.
“Rumah Penyelenggaraan Ilahi” dan berbagai cobaan
Di tahun 1825, tujuh
tahun setelah Pastor Vianney ditunjuk menjadi pastor paroki Ars, ia
berkesempatan mewujudkan cita-citanya sejak lama. Seorang donatur menyumbangkan
sejumlah besar uang, yang segera dipakainya untuk membeli sebuah rumah yang kemudian
dikenal dengan nama “House of Providence”
(Rumah Penyelenggaraan Ilahi). Di rumah itu, dikumpulkannya semua orang miskin
yang terabaikan, yang tak punya rumah, dan anak-anak yatim piatu di Ars. Mereka
dirawat dan dicukupi segala kebutuhan fisik dan spiritualnya dalam satu atap.
Dua wanita dari umat paroki ditunjuknya menjadi kepala pengelola rumah
itu. Pastor Vianney juga terjun sendiri untuk memberikan katekisasi kepada
mereka. Umat paroki di Ars lambat laun terlibat pula dalam mendukung kegiatan
pengajaran tersebut.
Rumah ini dikelola
Pastor Vianney selama dua puluh lima tahun. Kebutuhan finansial rumah dicukupi
oleh dana yang disumbangkan para donatur kepadanya, dan sering terjadi bahwa
sumbangan dana tiba secara tak terduga, tepat pada saat rumah itu sedang
membutuhkan dana yang mendesak. Pada suatu hari tak ada lagi tepung yang
tersisa untuk membuat roti dan tak ada lagi cukup uang untuk membeli roti.
Semua orang yang didatangi Pastor Vianney menyatakan tak sanggup membantu.
Belum pernah Pastor Jean merasa benar-benar ditinggalkan seperti saat itu.
Kemudian ia teringat akan St. Francis Regis dan memutuskan untuk mencari
pertolongan dari Surga. Ia membawa relikwi santo Francis ke ruang penyimpanan
makanan, lalu menutupinya dengan remah-remah tepung gandum yang tersisa.
Keesokan harinya para pengelola rumah itu mengingatkan dia bahwa tak ada lagi
tersisa makanan untuk dimakan. Pastor Vianney menangis dan mengatakan bahwa
mereka mungkin harus membiarkan anak-anak yang miskin itu pergi. Bagaimanapun,
ia memutuskan pergi ke ruang penyimpanan bersama seorang anak buahnya dan
dengan kecemasan yang besar membuka pintunya, dan saat itu dilihatnya ruang
penyimpanan yang tadinya kosong itu ternyata telah penuh dengan gandum.
Dalam peristiwa
semacam itu kekudusan Pastor Vianney menampakkan dirinya. Bukannya menyambut
mukjizat publik dengan kegembiraan, ia justru merasa kebalikannya, merasa
sangat malu, karena ia telah merasa nyaris putus asa pada awalnya. Ia segera
mengatakan kepada anak-anak, “Lihatlah anak-anak terkasih, saya telah sempat
tidak mempercayai Tuhan yang begitu baik. Saya telah hampir meminta kalian
semua pergi, dan untuk semua ini Dia telah menghukum saya.”
Berita mukjizat
penambahan persediaan makanan itu segera tersebar. Seluruh warga paroki mengunjungi
ruang penyimpanan itu dan setiap orang merasa yakin dengan apa yang mereka
lihat. Uskup Devie dari Belley menyelidiki peristiwa itu secara pribadi dan
menemukan kenyataan seperti yang didengarnya.
Rahmat yang besar
dalam kehidupan seorang kudus tidak pernah datang tanpa dibarengi dengan
datangnya pencobaan yang besar pula. Pastor yang terberkati dari Ars ini bukan
pengecualian. Selama sepuluh tahun pelayanannya, ia mengalami banyak tuduhan,
kecurigaan, ketidakpercayaan, dan fitnah. Orang-orang yang tidak suka kepadanya
mengkritisi aksi-aksinya dan menjadikan ia bahan olok-olok. Ia bahkan
pernah diancam dengan kekerasan. Di antara para pengkritiknya adalah sesama
rekan pastor, yang merasa iri dan marah karena banyak umat di paroki mereka berdatangan
ke Ars untuk meminta nasehat dan konseling kepada seorang yang pernah mereka
berikan label sebagai imam yang tidak berpengalaman dan tidak peduli.
Tentu saja sikap-sikap Pastor Vianney sama sekali tidak memberikan alasan yang
dapat membenarkan opini-opini negatif tersebut, karena, dalam kerendahan
hatinya, ia beberapa kali menyatakan dirinya seorang yang tidak berguna dan
pelayan Tuhan yang tidak layak, sebuah opini yang ia pegang dengan tulus tanpa
keraguan.
Banyak umat beriman
yang terpengaruh oleh sikap negatif para pemimpin rohani mereka kepada Pastor
Vianney, sehingga mereka merasa bebas untuk ikut menghinanya. Beberapa bahkan
menulis pesan-pesan yang kasar untuk Pastor Jean dan meninggalkannya di pintu
paroki.
Dengan kesabaran
yang menyentuh hati, Pastor Vianney menanggung tahun-tahun yang penuh kepahitan
itu. Kesungguhan dan kesalehannya tidak luntur barang satu hari pun. Semua
pergumulan batinnya itu tidak ditampakkannya ke luar pada saat ia menjalankan
tugas-tugas pastoralnya.
Pastor Vianney juga
mengalami gangguan yang terus menerus dari Si Jahat. Hampir setiap malam ia
mendengar suara ketukan yang terus menerus di pintu rumahnya, namun ketika
dicari siapa yang melakukannya, tidak tampak ada seorangpun di luar. Gangguan
itu membuatnya tidak bisa beristirahat cukup di malam hari, setelah sepanjang
harinya bekerja tak henti. Gangguan itu memang nampaknya dibuat supaya ia tidak
cukup segar dan fit untuk melakukan tugas-tugas imamatnya. Serangan Si Jahat
itu berlangsung tak kurang dari tiga puluh lima tahun hidupnya. Sungguh
merupakan mukjizat bahwa dalam keadaan tersiksa oleh kelelahan fisik dan
mental, dan masih ditambah lagi hidup mati raga yang melemahkan tubuhnya,
Pastor Jean dikaruniai hidup yang penuh karya indah selama tujuh puluh empat
tahun.
Sementara itu,
musuh-musuhnya melangkah lebih jauh dalam usaha untuk membahayakan jabatannya.
Mereka mengajukan tuduhan palsu kepada uskup yang memimpin Keuskupan Belley, di
mana paroki Ars bernaung. Mereka mengatakan bahwa Pastor Vianney tidak layak
untuk dipercaya membimbing umat dan membawa jiwa-jiwa kepada Tuhan. Namun sang
uskup tidak ingin memberi keputusan tanpa melakukan pemeriksaan. Ia mengirim
vikaris jendralnya ke Ars dan memberi perintah kepada Pastor Vianney untuk
melaporkan ke yurisdiksi episkopal semua permasalahan yang sulit yang pernah
dihadapinya beserta semua saran yang telah ia berikan untuk kasus-kasus
itu. Pastor Vianney menyambut permintaan itu dan segera menyerahkan
catatan dari lebih dua ratus kasus. Uskup Devie dari Belley memeriksanya
sendiri dan menemukan bahwa keputusan-keputusan Pastor Vianney sangat tepat,
kecuali dua kasus yang ia mempunyai opini berbeda. Sejak saat itu ia tidak lagi
mengijinkan siapapun mengatakan bahwa Pastor Vianney tidak mampu. Sang uskup
berkunjung secara prbadi ke rumah Pastor Vianney di Ars dan menemukan seorang
yang saleh dan kudus, sama sekali bukan seperti seorang yang dikatakan berbagai
hal yang negatif oleh para musuhnya. Dalam kesempatan sebuah acara resmi, Bapa
Uskup menegur para bawahannya sehubungan dengan tuduhan mereka.
Namun, lebih dari
segala bentuk perlindungan yang diberikan Bapa Uskup kepadanya, kerendahan hati
dan kebaikan Pastor Vianneylah yang akhirnya menyadarkan lawan-lawannya. Dalam
beberapa tahun sesudahnya, pastor yang berhati mulia ini tidak lagi mempunyai musuh
dari sesama pastor. Demikian juga umat awam tidak lagi menyebarkan tuduhan tak
beralasan tentang dia.
Pada bulan November
1847, Pastor Vianney mengalami cobaan lagi. “Rumah Penyelenggaraan Ilahi” yang
didirikannya untuk para miskin dan anak-anak tak beribu bapa, diputuskan untuk
diambil dari pengelolaannya, karena dianggap bukan merupakan institusi sekolah
atau rumah sakit, dan dikelola oleh awam. Dengan sedih hati, Pastor Vianney
menyerahkan pengelolaannya kepada Suster-suster St. Yusuf dari Bourg, dan rumah
itu diubah menjadi institusi “Sekolah Gratis bagi Para Gadis”. Namun peristiwa
ini menjadi titik balik rencana Tuhan yang agung baginya, karena sejak itu
seluruh kekuatan fisik dan pikirannya semata didedikasikan kepada usaha
pertobatan para pendosa, melalui sakramen pengakuan yang diberikannya kepada
umat yang berkunjung ke Ars, yang kian hari kian banyak jumlahnya.
Dalam kurun waktu
sesudahnya, Pastor Vianney telah beberapa kali berniat untuk mengundurkan diri
dari tugas-tugas imamat yang diembannya di Ars, ia ingin menyepi di sebuah
biara untuk menghabiskan sisa hidup miskinnya di hadapan Allah. Tetapi
gelombang umat yang memprotes rencananya itu akhirnya membuat Pastor Jean
membatalkan keinginannya. Melihat kerinduan umat yang begitu besar, ia menyadari
bahwa adalah rencana kudus Tuhan sendiri yang menghendaki dia untuk tetap
tinggal dan melanjutkan karya-karya pastoralnya yang amat diharapkan oleh
banyak orang, terutama mereka yang merasa kehilangan pegangan dan rindu untuk
bersatu kembali dengan Tuhan.
Peziarahan ke Ars
Sepanjang tahun di
antara tahun 1825 dan 1830, gelombang peziarahan yang besar terjadi di
Ars. Banyak sekali umat yang datang ingin bertemu dan berkonsultasi serta
mengakukan dosa dosa mereka kepada Pastor Jean Vianney. Begitu banyaknya
jumlah orang yang datang sehingga akomodasi perjalanan yang meningkat pesat
memerlukan pengaturan khusus di antara Ars dan desa-desa lain di sekitarnya.
Para peziarah
berdatangan dari setiap propinsi di Perancis, sebagian datang pula dari Belgia dan
Inggris, sebagian lagi dari Amerika. Ketenaran Pastor Vianney menyebar dari
mulut ke mulut, terutama dari mereka yang telah mendapat pengalaman pribadi di
bawah bimbingan Pastor Vianney.
Dengan perasaan
kagum yang makin meningkat, peziarah yang baru datang menyaksikan bagaimana
pastor yang rendah hati itu memenangkan jiwa-jiwa. Setiap hari di sepanjang
lorong bangku gereja, dua lajur manusia, berjumlah tak kurang dari enam puluh
hingga seratus orang, menanti dengan sabar giliran mereka untuk masuk ke dalam
sakristi kecil untuk mengakukan dosa mereka kepada Pastor Vianney. Jika ditanya
sejak jam berapa mereka sudah antri di sana, kadang jawabannya, “Sejak jam dua
dini hari”, atau, “Sejak tengah malam, segera sesudah pastor Jean membuka
gereja.” Tak jarang tampak di antara antrian, umat dari kalangan masyarakat
terhormat juga menunggu dengan sabar sepanjang malam dan siang, bukan untuk
menghadiri suatu pertemuan penting, namun untuk menyerahkan diri mereka dengan
rendah hati kepada bimbingan spiritual sang pastor demi kesejahteraan jiwa
mereka. Sudut-sudut lain dari gereja juga tampak sama penuhnya. Pemandangan
pria dan wanita berdoa dengan khusuk juga berlangsung terus dari jam ke jam,
dari hari ke hari, sementara dua-ratusan orang mengantri untuk mengakukan
dosa-dosa mereka. Pastor Jean Vianney biasa mendengarkan pengakuan selama enam
belas hingga tujuh belas jam setiap harinya, dan kedisiplinan manusia ‘super’
ini berlangsung terus menerus dalam kurun waktu tiga puluh tahun.
Sebagai panutan
umat, Pastor Vianney memahami tidak ada pengajaran yang lebih ‘berbicara’ untuk
menarik perhatian umat daripada pengajaran yang didasarkan pada peristiwa iman
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam nasehat-nasehatnya, ia selalu kembali kepada
kebenaran mendasar dari iman untuk menjadi perenungan umatnya. Cinta manusia
kepada Tuhan seharusnya merupakan suatu hal yang alamiah bagi manusia
sebagaimana seekor burung dan kicauannya. Ia juga selalu mengingatkan akan
sukacita yang tak terkatakan yang dialami setiap manusia karena mengalami cinta
kasih Allah yang penuh pengurbanan. Berulang-ulang ia juga mengatakan,
“Berdoalah bagi pertobatan para pendosa!” Ia menyatakan bahwa intensi doa
semacam itu adalah salah satu hal yang paling disenangi oleh Tuhan yang Maha
Baik. Tanpa henti, Pastor Jean sendiri berdoa dan bermati raga untuk ujud
tersebut. Permohonannya yang tekun itu naik tinggi sampai ke hadirat Allah.
Allah yang selama tiga puluh tahun hidup sang Pastor di Ars, dengan gembira
mengirimkan pendosa tak berhingga jumlahnya, untuk dapat diperdamaikan kembali
dengan Tuhan melalui karya pastoral Pastor Vianney. Banyak umat berlutut di
kakinya dengan hati telah siap, karena telah mendengar dari umat lain betapa
manis dan mudahnya untuk mengakukan dosa kepada pastor yang kudus itu dan menerima
bimbingannya, untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan dengan seluruh hati
mereka.
Kadang-kadang orang
datang ke Ars hanya sekedar ingin tahu, kadang ingin sekedar melihat wajah
Pastor Jean, atau ingin melihat sambil sedikit mengolok-olok apa yang mereka
anggap sebagai suatu kerumunan orang-orang yang konyol. Namun, setelah
mengamati dari dekat bagaimana karya sang Pastor Jean selama sehari atau dua,
mereka yang datang dengan motif-motif itu langsung kehilangan selera untuk
meneruskan intensi awalnya, dan tidak lama kemudian mereka tampak telah berada
di dalam antrian juga, ikut menunggu bersama yang lain untuk mengaku dosanya.
Seperti St. Vincent
Ferrer, Pastor Vianney mendapat karunia dari Tuhan sebuah kemampuan untuk
mengetahui dengan jelas apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh seorang
pendosa. Hampir setiap hari, orang akan melihatnya tiba-tiba keluar dari
sakristi untuk kemudian langsung menghampiri seseorang yang baru saja masuk ke
dalam gereja. Dengan wajah ramah namun serius, Pastor Jean menuntun orang itu
masuk ke ruang pengakuan. Banyak orang kemudian mengetahui, bahwa tanpa banyak
membuang waktu, Pastor Jean akan segera menyebutkan dosa-dosa dan kesalahan
orang itu di depannya, sebelum yang bersangkutan sempat mengatakannya.
Pastor Vianney mengingatkannya akan hal-hal yang memalukan yang telah
dilakukannya di masa lalu yang mungkin orang itu telah merasa tergoda untuk
menyembunyikannya dari siapapun. Dengan kemampuan dan cara seperti itu,
Pastor Vianney menyingkirkan halangan paling besar dan paling akhir yang
mungkin menghambat seseorang untuk dapat mengalami rekonsiliasi yang penuh
dengan Tuhan.
Suatu hari seorang
atheis mengikuti Pastor Jean, yang segera memintanya berlutut. Orang itu
berkata, ia sama sekali tidak ingin mengaku dosa, dan bahwa ia sama sekali
tidak percaya kepada Tuhan dan hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan dosa.
Pastor Jean melihat dalam-dalam ke matanya, dan hal itu ternyata membuat orang
tersebut segera menjatuhkan diri untuk berlutut. Pastor Jean lantas mengungkapkan
masa lalunya, dengan sangat akurat, sehingga orang itu mengakui dengan heran
bahwa apa yang dikatakan pastor itu benar semua. Cahaya iman segera terbangkit
dalam jiwa orang ateis itu, yang lalu berseru menangis dengan suara keras,
“Tuhan, aku percaya, aku memujiMu, aku mencintaiMu, aku memohon pengampunanMu
!” Pastor Jean menyuruhnya pergi dalam damai dengan berkata, “Sahabatku,
persiapkan dirimu, Tuhan yang Maha Baik akan segera memanggilmu!” Dan
demikianlah yang terjadi, dua tahun kemudian sebuah serangan stroke mengakhiri
hidup orang yang telah bertobat itu.
Selain medamaikan
kembali para pendosa dengan Allah, Pastor Vianney sering membantu mengarahkan
jiwa-jiwa untuk mengetahui panggilan hidup mereka dan bagaimana
mencapainya, sambil memberikan konsultasi yang berharga bagi perkembangan
spiritual mereka. Maka tak heran bila para uskup dan para pastor, para pemimpin
organisasi religius, para orang tua, para pemuda dan pemudi dalam jumlah besar,
semuanya rindu untuk mendapatkan nasehat dari pastor kudus itu. Pastor Jean
memberikan nasehatnya secara singkat, karena ia mengingat masih banyak pendosa
yang antri yang menunggu untuk didengar pengakuan dosanya. Banyak peminta
nasehat bersaksi, hanya dengan mendengarkan beberapa patah kata awal saja dari
cerita mereka, Pastor Jean sudah mampu memberikan nasehat yang relevan dengan
permasalahan mereka dengan kecermatan yang mengagumkan. Pada suatu hari seorang
pastor menanyakan pendapat Pastor Jean akan suatu masalah teologi yang amat
rumit, dan segera pastor itu mendapat jawaban yang amat meyakinkan. Dengan
terkesan, ia bertanya di mana Pastor Jean belajar tentang teologi? Dengan
gerakan tangannya, yang lebih tampak menyarankan daripada menjawab, Pastor Jean
menunjuk dalam keheningan kepada Sang Tuan.
Tidak seperti yang
diduga banyak orang, Pastor Jean tidak selalu menasehati orang muda untuk
menjadi rohaniwan. Kepada seorang gadis yang sudah hendak dinikahkan dengan
pemuda pilihan orangtuanya, di mana sebenarnya gadis itu ingin masuk biara,
Pastor Jean merenung sejenak dan berkata, “Anakku terkasih, engkau harus
menikah!” . Walau gadis itu telah menyatakan keinginannya masuk biara, ia
menuruti nasehat Pastor Jean, dan pernikahannya itu ternyata sangat
membahagiakan jiwanya.
Pengalaman umat juga
membuktikan, bahwa saran pastor Jean tidak untuk ditunda, apalagi diabaikan.
Pengalaman Felix B. dari Coblone, ia ingin masuk ke biara para trapis dan
mendapat petunjuk Pastor Jean untuk segera melanjutkan niatnya itu, tetapi
Felix menjadi ragu mengingat beratnya kehidupan seorang trapis. Ia mengubah
keputusannya dan masuk ke komunitas religius “Christian Brothers”. Ternyata
selama enam tahun di dalamnya ia merasa gelisah dan tidak bahagia. Selalu
terbayang olehnya pandangan mata ilahi dalam tatapan Pastor Jean yang ketika
itu telah wafat. Akhirnya ia mengajukan niatnya untuk mundur dari komunitasnya
dan masuk ke biara trapis. Di situ ia menemukan kedamaian dan ketenangan yang
selama ini dirindukannya.
Mukjizat-mukjizat yang dikerjakan Sang Pastor dari Ars
Kemampuan untuk menyingkapkan
dosa-dosa tersembunyi dari para pengaku dosa yang datang kepada Pastor Vianney,
menjadi kekuatan pelayanannya dan melahirkan banyak pertobatan. Pastor Jean
juga mampu melihat ke depan manakala seseorang akan kembali berdosa di masa
depan dan membuatnya kembali ke Ars, yang dibantunya untuk sembuh kembali.
Kemampuan yang sama juga dimilikinya untuk melihat meningkatnya kekudusan jiwa
seseorang di bawah suatu penderitaan fisik dan kehendak Tuhan bahwa kesembuhan
tidak akan terjadi pada orang itu. Juga ia dapat melihat suatu salib yang
menunggu seorang peziarah sekembalinya dari Ars, atau melihat dengan mata
batin, bahwa suatu kesembuhan tengah terjadi di tempat yang jauh.
Berbagai mukjizat
yang telah terjadi disambut Pastor Jean hanya dengan satu alasan, yaitu bahwa
semua itu dapat mendukung terjadinya pertobatan banyak pendosa dan keselamatan
banyak jiwa untuk bersatu kembali dengan Tuhan. Itulah pencapaian sesungguhnya
dari pelayanannya yang penuh pengorbanan diiringi mati raga yang terus menerus
demi pertobatan umatnya.
Kehidupan interior sang Pastor Yang Terberkati
Banyak orang
bertanya-tanya bagaimana pastor yang telah memberikan banyak sekali waktu dan
perhatian bagi keselamatan jiwa begitu banyak orang, masih bisa mempunyai waktu
dan tenaga untuk memperhatikan kebutuhan jiwanya sendiri.
Dalam saat-saat
luang di mana sebenarnya ia bisa melakukan aktivitas yang bersifat hiburan,
Pastor Jean lebih memilih untuk mengerjakan hal-hal yang berguna bagi
perkembangan spiritualnya. Hal ini membuat Pastor Jean semakin memperlihatkan
kasih dan respek kepada orang lain, tahun demi tahun ia semakin tampak bersinar
dalam kerendahan hati, amal kasih, dan pengorbanan. Bagi siapapun yang mendekat
padanya, sinar matanya yang jernih memantulkan kesalehan yang tulus yang
bersumber dari jiwanya. Ke manapun ia pergi, orang-orang akan mengerumuninya,
menarik jubahnya, dan menanyakan berbagai hal kepadanya, termasuk hal-hal yang
sangat sederhana, yang tetap ditanggapi Pastor Jean dengan penuh respek.
Kebaikannya yang tidak pernah berubah membuatnya dijuluki “Pastor yang baik”
sepanjang karirnya sebagai imam. Ia juga sangat menjaga dan menghormati
rekan-rekan sesama imam, berusaha agar pekerjaan-pekerjaan yang sulit atau yang
tidak menyenangkan tidak sampai ke tangan mereka. Untuk menyatakan kasihnya, ia
sering membagikan barang-barang pribadinya kepada mereka termasuk salib,
medali, dan relikwi, di mana semua benda itu sebenarnya merupakan benda-benda
kesayangannya.
Selama tahun-tahun
terakhir menjelang akhir hidupnya, Pastor Jean praktis tidak memiliki apa-apa
lagi. Ia telah menjual segala perabotan, buku-buku, dan berbagai benda
miliknya untuk diberikan kepada orang miskin.
Ketika superiornya
mulai melarang dia untuk bermati raga terlalu keras demi kesehatannya, ia berusaha
menemukan cara lain untuk melakukan mati raga lewat makanannya sehari-hari.
Pastor Jean juga menderita suatu penyakit yang membuatnya sering harus
mempersingkat homilinya di altar, bahkan tak jarang rasa sakit itu membuatnya
pingsan. Jika ditanya mengenai itu, ia hanya menjawab, “Ya, saya hanya sakit
sedikit saja”. Padahal dengan tubuh yang sudah begitu lemah karena mati raga,
ditambah rasa sakitnya, dan terkurung di dalam sempitnya ruang pengakuan dosa
selama enam belas atau tujuh belas jam sehari, tentu penderitaan tubuhnya sama
sekali tidak ringan. Waktu untuk beristirahat di malam hari seringkali hanya
tersisa satu jam saja, dan waktu yang sangat sedikit itu pun sering tak bisa
dinikmatinya dengan baik, karena batuk yang hebat mengguncang tubuhnya tak
henti. Dalam semalam ia bisa terbangun empat atau lima kali, berharap bisa
meringankan penderitaannya dengan berjalan-jalan ringan. Ketika sudah menjadi
sangat lelah akhirnya ia tertidur tetapi terkadang karena sudah waktunya
matahari terbit, segera ia bangun lagi untuk bekerja kembali di hari yang baru.
Waktu luangnya ia habiskan untuk berdoa. Dalam mengunjungi orang sakit,
pikirannya selalu tertuju kepada Tuhan. Namun doa-doanya selalu sangat
sederhana. Memang ia memilih untuk senantiasa sederhana dalam segala
tindakannya.
Cintanya kepada
Tuhan begitu dalam, sehingga tak jarang hatinya terasa tercabik dan air matanya
mengalir deras saat mendengarkan berbagai perbuatan dosa berat yang dilakukan
orang-orang yang mengaku dosa kepadanya. Ia merasakan betapa sakitnya luka-luka
dan hinaan yang diterima Yesus dan betapa cinta-Nya ditolak melalui dosa-dosa
yang diperbuat oleh umat-Nya. Jika ia tahu sebelumya bahwa sedemikian beratnya
menjadi seorang imam yang harus mendengarkan pengakuan, lebih baik dulu ia pergi
menjadi seorang trapis di biara daripada ke seminari.
Betapapun besar dan
mengagumkan hasil pekerjaan pelayanannya, Pastor Jean selalu menganggap dirinya
tidak mampu untuk menjalankan tugas-tugas imamatnya sebagaimana seharusnya.
Tanpa rasa bangga ia menyebut dirinya “jiwa yang miskin”, dan tubuh fisiknya,
“mayat yang miskin”, dan “kesengsaraan yang miskin”, sambil berdoa semoga Tuhan
masih berkenan memakai segala kemiskinannya itu. Tak diragukan lagi, kerendahan
hatinyalah yang membuat Pastor Jean Vianney menjadi seorang kudus. Itulah kunci
kekudusannya, karena tanpa kerendahan hati itu, ia tak akan bertahan terhadap
penyembahan dan kekaguman ribuan orang yang telah menyaksikan kekudusan
hidupnya.
Wafat dan beatifikasi Sang Pastor Yang Terberkati
Di musim panas tahun
1859, sang pastor yang terberkati menampakkan tanda-tanda bahwa seluruh
energinya sudah nyaris tidak bersisa lagi. Ia terdengar beberapa kali
mengatakan, “Sayang sekali, para pendosa akan mengakhiri hidup pendosa”
Pada Jumat 29 Juli
1859, setelah menghabiskan enam belas hingga tujuh belas jam di ruang pengakuan
seperti biasa, ia kembali ke pastoran dalam keadaan sangat lelah. Ia terduduk
sambil berkata, “Aku tak dapat berbuat lebih jauh lagi”. Ia segera dibaringkan
di tempat tidur. Keesokan paginya sakitnya menjadi begitu parah sehingga
dikhawatirkan ia akan segera meninggal. Kesedihan yang mendalam terasa di
seluruh pelosok Ars dan di hati seluruh pengunjung. Selama tiga hari, gereja
penuh dengan umat, yang berdoa dengan sungguh memohon Tuhan untuk tidak
mengambil imam kesayangan mereka. Pastor Jean tidak mengikuti doa bersama
umatnya karena merasa bahwa ajalnya telah dekat. Jumat petang ia menerima
Sakramen Perminyakan. Ia meneteskan airmata keharuan ketika Viaticum Kudus
(Sakramen Ekaristi terakhir sebagai bekal perjalanan pulang ke rumah Bapa)
dipersembahkan untuknya dan minyak suci diberikan kepadanya. Untuk terakhir
kalinya ia memberkati semua yang hadir beserta seluruh umat parokinya. Hari
Rabu pagi ia tersenyum mengenali Bapa Uskup yang hadir di sisi tempat tidurnya.
Pada hari Kamis 4 Agustus 1859, pukul dua dini hari, saat rekan-rekannya dan
wakilnya, Abbe Monnin, sedang mengucapkan doa bagi orang yang menghadapi ajal
dan tengah berkata: “Kiranya para Malaikat kudus Allah datang menjumpainya dan
memimpinnya ke dalam kota kudus Yerusalem Surgawi”, jiwa Pastor Jean
meninggalkan tubuhnya, menghadap Sang Penciptanya, yang telah ia layani dengan
begitu setia sepanjang hidupnya.
Jarang bahwa proses
beatifikasi dimulai begitu cepat seperti yang terjadi pada Jean (Yohanes)
Baptis Vianney. Tak sampai empat puluh lima tahun semenjak tubuhnya
diistirahatkan di bawah altar paroki Ars, Tahta Suci memutuskan beatifikasinya.
Pada tanggal 3
Oktober 1874, Paus Pius IX, setelah meneliti berbagai tulisan dan dokumen
biografi yang berhubungan dengan kehidupan Sang Pastor, memutuskan memberikan
gelar “Pelayan Tuhan Yang Terberkati” kepada almarhum Pastor JeanVianney. Pada
21 Juni 1896, Paus Leo XIII, memimpin sesi terakhir dari rapat komisi
penyelidikan kanonisasi, untuk mengumumkan kelayakan sang pastor yang
terberkati itu menjadi seorang santo. Pernyataan final yang ditunggu-tunggu
setiap orang diumumkan oleh Kardinal Parocchi. Tanggal 1 Agustus di tahun yang
sama, Paus Leo XIII mengeluarkan dekrit yang menyatakan penghormatan yang
diberikan kepada pastor yang rendah hati dari Ars dan penghormatan pribadinya
untuk nilai-nilai hidup kudus Sang Pastor.
Tujuh tahun
kemudian, di tahun 1903, Paus yang sama memanggil komisi untuk mempertimbangkan
berbagai kesaksian dan mukjizat yang terjadi di makam Sang Pastor. Namun
rencana ini batal dilakukan karena Paus jatuh sakit dan segera sesudahnya,
tanggal 20 Juli di tahun yang sama, Paus Leo XIII wafat dan umat Katolik
sedunia kehilangan pemimpin spiritual tertingginya.
Kejadian menarik
terjadi pada 4 Agustus 1903. Pada jam yang sama di mana Ars merayakan Misa
Kudus peringatan ke-44 wafatnya Yohanes Baptis Vianney, sebuah upacara
besar lain terjadi di Roma. Ialah upacara pelantikan seorang pastor sederhana
dari Salzano, (yang kemudian menjadi Kardinal Sarto, patriark dari Venesia),
menjadi Paus yang baru, dengan gelar Pius X. Segera pada tanggal 26 Januari
1904, Paus yang baru dilantik ini memimpin sesi penyelidikan kanonisasi Pastor
Jean yang pernah direncanakan pendahulunya, Paus Leo XIII, yang wafat sebelum
penyelidikan itu dimulai.
Dua buah peristiwa
dikemukakan. Yang pertama adalah kesembuhan tiba-tiba yang dialami Adelaide
Joy, dan si kecil Leo Roussat. Pada kasus yang kedua, setelah serangan epilepsi
yang kuat, di tahun 1862, ia harus digendong ke makam Pastor Jean. Salah satu
lengannya tergantung lunglai di sisi tubuhnya, kemampuan bicaranya hilang, dan
bernafasnya begitu sulit hingga ia tak mampu menahan cukup air liur dalam
mulutnya. Setelah sejenak berdoa di makam sang pastor, ia dibawa pulang.
Tangannya yang semula tak dapat bergerak kini bisa digunakan memberikan uang
kepada orang miskin, anak itu dapat menggunakan anggota geraknya lagi dan bisa
berjalan-jalan. Pada akhir novena, ia kembali bisa berbicara tanpa kesulitan
lagi.
Pada Februari 1861,
gadis Adelaide, yang mempunyai tumor ganas pada lengannya, telah dinyatakan tak
ada harapan lagi oleh para dokter di rumah sakit Lyons. Lalu seorang kerabat
yang memiliki secarik kain yang pernah dimiliki oleh Pastor Jean Vianney,
meletakkannya di atas lengan yang sakit. Dalam doa, mereka lalu memohon
perantaraan doa sang pelayan Tuhan yang terberkati Jean Vianney untuk
mengangkat penderitaan gadis itu. Para dokter terheran-heran melihat tumor itu
tiba-tiba mengecil dan dalam beberapa jam, dan lengan gadis itu pulih kembali
seperti sediakala.
Setelah konsili para
kardinal mengumumkan pengakuan Vatikan terhadap mukjizat-mukjizat kesembuhan
itu, maka dekrit Paus, tertanggal 21 Februari 1904, menyatakan fakta-fakta
tersebut mendukung beatifikasi dari Sang Pastor yang terberkati. Bapa Suci
memberikan kesan sukacita pribadinya ketika akhirnya beliau berhasil
menempatkan Pastor Jean dalam jajaran para kudus, yang menurutnya, memang telah
menjadi teladan yang bersinar juga bagi dirinya sendiri.
Sumber: Katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar